Kamis, 19 November 2015


 
PAPER
MEKANISME PERTAHANAN DIRI

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kebutuhan Harga Diri

DosenPembimbing : Bambang Edi Warsito, M. Kes



JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
Disusun Oleh:
Kelompok5 :
1.    AvindaDeviana                   (22020114120028)
2.    Gladis Risna A                   (22020114120033)
3.    Innas Khanifah                   (22020114120037)
4.    Irma Ni’matus S                 (22020114120044)
5.    Luluk Zahfarani                  (22020114120041)
6.    M. Fikri Al Ghifari             (22020114120060)
7.    Sulistyaningrum                  (22020114120047)


Mekanismepertahanandiri
               Mekanisme pertahanan diri atau yang sering disebut sebagai mekanisme pertahanan  mental. Adapun mekanisme pertahanan diri adalah sebagai berikut.
1.    Kompensasi
Prose dimana seseorang memperbaiki penurunan citra diri dengan secara tegas menonjolkan keistimewaan kelebihan yang dimilikinya.
Contoh : seorang anak yang tidak pandai di sekolah, menjadi anak jagoan atau ditakuti oleh teman-temannya.
2.    Penyangkalan (denial)
Menyatakan ketidak setujuan terhadap realitas dengan mengingkari realitas tersebut. Mekanisme pertahanan ini adalah paling sederhana dan primitif.Seseorang melakukan bloking atau menolak terhadap kenyataan yang ada karena kenyataan yang ada dirasa mengancam integritas individu yang bersangkutan.
Contoh : Istri yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya secara mendadak, merasa suaminya masih hidup sehingga tiap sore dia masih membuatkan kopi untuk suaminya seperti biasanya.
3.    Pemindahan (displacement)
Pengalihan emosi yang semula ditujukan pada seseorang / benda lain yang biasanya netral atau lebih sedikit mengancam dirinya. Seperti memindahkan reaksi dari objek yang mengancam ke objek yang lain karena obyek yang asli tidak ada atau berbahaya bila diagresi secara langsung.
Contoh :  seorang bawahan dimarahi oleh atasannya dikantor. Bawahannya tersebut kemudian memarahi istrinya dirumah karena tidak berani membantah atasannya. Istri kemudian memarahi anaknya. Ini merupakan contoh klasik dari displacement.
4.    Disosiasi
Beban emosi dalam suaatu keadaan yang menyakitkan diputus atau diubah. Mekanisme dimana suatu kumpulan proses-proses mental dipisahkan atau diasingkan dari kesadaran dengan bekerja secara merdeka atau otomatis, afek dan emosi terpisah, dan terlepas dari ide, situasi, objek, misalnya pada selektif amnesia.
Contoh : Rasa sedih karena kematian seorang kekasih dikurangi dengan mengatakan “sudah nasibnya” atau “sekarang ia sudah tidak menderita lagi”.


5.    Identifikasi
           Proses dimana seseorang berupaya menjadi seseorang yang ia kagumi

dengan mengambil / menirukan pikiran-pikiran, perilaku dan selera orang tersebut. Identifikasi biasanya dilakukan oleh anak terhadap orang tua mereka.
contoh : Seorang yang mengalami frustasi dan kegagalan-kegagalan, biasanya tidak mau melihat kekurangan diri sendiri. Dia selalu berusaha (dalam dunia imajinasinya) menyamakan diri dengan seorang yang mencapai sukses. Dia berusaha mengidentifikasikan diri dengan bintang film misalnya, dengan seorang pahlawan perang, atau seorang professor yang cemelang. Semua ini bertujuan untuk memberikan kepuasan semu pada diri sendiri, dan didorong oleh ambisi untuk meningkatkan harga diri. 
6.    Intelektualisasi
Penggunaanlogikadanalasan yang berlebihanuntukmenghindaripengalaman yang menggangguperasaannya.
Contoh : Seorang pelatih yang timnya mengalami kegagalan maka kesedihannya akan dikurangi dengan mengatakan “sudah nasibnya” atau “kurang beruntung”  dan sambil tersenyum.
7.    Rasionalisasi
Mengemukakan penjelasan yang tampak logis  dan dapat diterima masyarakat untuk menghalalkan / membenarkan impuls, perasaan, perilaku, dan motif yang tidak dapat diterima. Berusaha untuk membuktikan bahwa perbuatannya (yang sebenarnya tidak baik) dianggap rasional adanya, dapat dibenarkan, dan dapat diterima.
Contoh:  Seorang anak menolak bermain bulu tangkis dengan temannya karena “kurang enak badan” atau “besok ada ulangan” (padahal takut kalah).
8.    Sublimasi
Dorongan atau implus yang ditransfortasikan menjadi bentuk-bentuk yang diterima secara social sehingga dorongan atau impuls tersebut menjadi suatu yang benar-benar berbeda dari dorongan atau impuls aslinya.
Contoh : Orang yang memilki dorongan seks yang kuat lalu menggunakan energi tersebut untuk menjadi sumber dari dorongan religiusnya, sehingga dia mengalami pengalaman mistik dan mampu bekerja bagi kemanusiaan, karena pada dasarnya religiusitas memilki persamaan atau kaitan dengan seksualitas yaitu dalam hal pengalaman penyatuan atau peleburan.
9.    Supresi
Suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan tetapi sebetulnya merupakan analog represi yang disadari (pengesampingan yang disengaja tentang suatu bahan dari kesadaran seseorang).Perbedaan supresi dengan represi yaitu, pada supresi seseorang secara sadar menolak pikirannya keluar alam sadarnya dan memikirkan yang lain. Dengan demikian supresi tidak begitu berbahaya terhadap kesehatan jiwa, karena terjadinya dengan sengaja, sehingga ia mengetahui apa yang dibuatnya.
Contoh : Saat menuju ke tempat pertandingan atau sebelum pertandingan dimulai ada beberapa atlet yang sering dilihat sedang mendengarkan musik atau berbincang-bincang dengan rekan setimnya tentang bahasan diluar pertandingan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mengalihkan perhatiannya untuk sementara waktu guna mengatasi ketegangan yang dihadapi.
10.  Represi
Pengesampingan secara tidak sadar tentang pikiran, impuls atau ingatan yang menyakitkan atau bertentangan, dari kesadaran seseorang merupakan pertahanan ego yang primer yang cenderung diperkuat oleh mekanisme lain. Dengan impuls-implus yang ada atau tidak biasa diterima sehingga impuls-impuls tersebut tidak dapat diekspresikan secara sadar atau lansung dalam tingkah laku. Represi juga disebut sebagai tekanan untuk melupakan hal-hal, dan keinginan-keinginan yang tidak disetujui oleh hati nuraninya. Semacam usaha untuk memelihara diri supaya jangan terasa dorongan-doronngan yang tidak sesuai dengan hatinya. Proses itu terjadi tanpa disadari. Dalam represi, orang berusaha mengingkari kenyataan atau factor-faktor yang menyebabkan ia merasa berdosa jika keadaan itu disadarinya. 
Contoh : Dorongan seksual karena dianggap tabu lalu ditekan begitu saja kedalam ketidaksadaran. Dorongan tersebut lalu muncul dalam bentuk mimpi. 
11.  Reaksi Formasi
Yaitu dorongan yang mengancam diekspresikan dalam bentuk tingkah laku secara terbalik. 
Contoh : Orang yang sebenarnya mencintai, namun dalam tingkahlaku memunculkan tindakan yang seolah-olah membenci orang yag dicintai.
12.  Proyeksi
Menerapkan dorongan-dorongan yang dimiliki pada orang lain karena dorong-dorongan tersebut mengancam integritas. Proyeksi juga juga disubut sebagai usaha mensifatkan, melemparkan atau memproyeksikan sifat, fikiran dan harapan yang negative, juga kelemahan dan sikap sendiri yang keliru, kepada orang lain. Melemparkan kesalahan sendiri. Individu yang bersangkutan tidak maau mengaku kesalahan, kenegatifan dan kelemahan sendiri, bahkan selalu memproyeksikan kehidupan yang negative tadi kepada orang lain.
Contoh :  A mencintai B, namun karena cinta yang dirasakan itu mengancam harga dirinya, lalu A menyatakan bahwa B lah yang mencintainya
 
KESIMPULAN
Pada dasarnya mekanisme pertahanan diri terjadi tanpa disadari dan bersifat membohongi diri sendiri terhadap realitayang ada didalam (dorongan atau impuls atau nafsu). Defense mechanism bersifat menyaring realita yang ada sehingga individu yang bersangkutan tidak bias memahami hakekat dari keseluruhan realita yang ada. Ini membuat sebagian besar ahli meyatakan koping jenis defense mechanism merupakan koping yang tidak sehat (kecuali sublimasi).
Defense mechanism yang tidak disadari, akan dapat disadari melalui refleksi diri yang terus menerus. Dengan cara begitu individu bisa mengetahui jenis mekanisme pertahanan diri yang biasa dilakukan dan kemudian menggantinya dengan koping yang lebih konstruksif. 



DAFTAR PUSTAKA
Rasmun. (2004). Stres, koping dan adaptasi. Jakarta: Sagung Seto.
Siswanto. (2007). Kesehatan mental, konsep, cakupan dan perkembangannya. Yogyakarta: CV Andi Offeset.
Kartono, K. (2000). Hygiene mental. Bandung: CV Mandar Maju.

Rabu, 04 November 2015





RESUME JURNAL
RESIKO BUNUH DIRI REMAJA AKIBAT DEPRESI
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tehnologi Informatika
Dosen Pembimbing :
Ns. Reni Sulung Utami, S.Kep., MSc








Disusun Oleh:
                                 Luluk Zahfarani                             (22020114120041)
A14. 1









JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2015

RESIKO BUNUH DIRI PADA REMAJA AKIBAT DEPRESI
Masa remaja merupakan masa transisi seseorang dari masa kanak – kanak menjadi masa dewasa. Fase ini merupakan fase terpenting dalam kehidupan seseorang. Fase transisi ini dapat diartikan sebagai periode dari pubertas hingga dewasa awal. Masa transisi ini dapat berupa perubahan sosial, emosional, dan perubahan fisiologis.(1) Masa remaja sangat rentang terhadap konflik sosial yang dapat menibulkan depresi.(2) Menurut American Psychological Association (APA, 1994) depresi adalah gangguan psikologis yang ditandai dengan gejala – gejala fisik, kognitif serta interpersonal, kondisi emosi sedih dan muram. Sedangkan menurut Caron dan Butcher (1991) menyebutkan bahwa depresi terjadi akibat dari respon normal dari pengalaman hidup yang tidak menyenangkan, contohnya kehilangan harta benda, status sosial, serta anggota keluarga. Depresi memiliki tanda dan gejala seperti tidak bersemangat, tidak punya harapan hidup, sedih dan murung, dan lain-lain.
Bedasarkan APA (1994) menyebutkan bahwa depresi dibedakan menjadi 2, sesuai dengan literature psikologi dan psikiatri yaitu depresi mayor (unipolar) dan depresi mania (bipolar). Ciri – ciri orang yang mengalami depresi mayor yaitu seorang individu mengalami kesedihan yang begitu dalam, merasa tidak tertarik lagi terhadap hal – hal yang dulu diminati. Sedangkan ciri – ciri dari depresi minor yaitu adanya perasaan gembira, optimism, dan gairah yang meluap – meluap dan berlebihan.(3)
Di dalam depresi dipengaruhi oleh dua teori yaitu teori biologis dan teori kognitif. Teori biologis yaitu teori yang menyatakan bahwa penyebab depresi yaitu bekerjanya system amine serebral di bawah sadar. Sedangkan teori kognitif yaitu perubahan persepsi seseorang, contohnya cara seseorang memandang segala hal selalu salah dan apabila dibiarkan terlalu lama akan menimbulkan depresi.(4)
Depresi dapat terjadi pada semua orang dan semua umur dari lansia, dewas, anak – anak, maupun remaja.(5) Tingkat depresi semakin meningkat dengan bertambahnya usia hal ini terjadi pada anak – anak dan remaja. Beberapa factor yang dapat menyebabkan depresi pada anak – anak dan remaja yaitu factor lingkungan, factor genetika, factor ekonomi, factor biologi, factor kognitif, factor kepribadian, factor psikososial.(4)(6) Contoh dari factor ekonomi yaitu kemiskinan. Factor biologi karena adanya penurunan hormone serotonin sehingga dapat mengakibatkan seseorang menjadi depresi. Factor genetic yaitu depresi dapat diturunkan kepada anak dari orang tua yang mengalami depresi. Factor lingkungan juga dapat menimbulkan depresi bagi seseorang contohnya stress, kehilangan. Factor psikososial yaitu adanya perubahan atau gangguan mood seseorang sehingga dapat menyebabkan depresi. Factor kepribadian yaitu bagi seseorang yang memiliki kepribadian dependen, anankastik, histonik mempunyai tingkat resiko depresi yang tinggi.(6)
Depresi merupakan penyebab utama terjadinya bunuh diri. Anak – anak dan remaja merupakan jumlah terbesar yang memiliki keinginan untuk melakukan bunuh diri karena gangguan depresi.(4) Di Amerika Serikat jumlah anak – anak dan remaja yang dirawat di rumah sakit karena tindakan bunuh diri mencapai lebih dari 12.000 jiwa. Di Indonesia khususnya Bali kasus bunuh diri pada tahun 2008 dan 2009 sebanyak 301 jiwa.(4) Di Korea Selatan tingkat bunuh diri remaja selalu meningkat selama 8 tahun belakangan ini.(7) Banyak alasan yang digunakan untuk melakukan bunuh diri yaitu harga diri rendah sehingga menimbulkan depresi bagi remaja.
Menurut hasil penelitian Korea Youth Konseling Institute (2007) sebanyak 510 orang menyatakan ingin berusaha untuk melakukan bunuh diri dan sebanyak 2709 orang mempunyai indikasi melakukan bunuh diri.(7) Di Malaysia sendiri kasus bunuh diri pada remaja berjumlah sebanyak 1.156 jiwa menurut National Suicide Registry Malaysia (NRSM, 2010). Jadi terdapat hubungan yang significan antara perilaku bunuh diri dengan gangguan depresi. Sehingga perlu dilakukan cara untuk menanggulangi bertambahnya angka kejadian bunuh diri pada remaja perlu dilakukan pencegahan. Walaupun sampai saat ini masih belum ada cara yang terbukti mampu menanggulangi perilaku bunuh diri dan kemungkinan bunuh diri pada remaja.
Namun dapat dilakukan berbagai cara pencegahan yaitu dengan pencegahan primer, sekunder, dan tersier.(5) Pencegahan primer adalah suatu metode yang digunakan untuk mencegah keinginan bunuh diri dan menjaga masyarakat agar tidak melakukan bunuh diri. Bentuk pencegahan primer dapat berbentuk mengurangi factor resiko untuk melakukan bunuh diri, misalnya dengan memodifikasi kondisi sosial, ekonomi, dan biologis. Seperti menurunkan tingkat kemiskinan, kekerasan, perceraian, dan edukasi tentang pola hidup yang sehat, misalnya pola makan dan tidur yang tepat, kesehatan fisik, latihan yang tepat. Pencegahan sekunder yaitu suatu pencegahan yang dilakukan kepada pasien yang ingin melakukan bunuh diri dengan cara mendeteksi secara awal dan segera memberi penanganan yang tepat. Sehingga dapat menurunkan resiko bunuh diri dengan tingkat keinginan yang tinggi. Rerisko tindakan bunuh diri yang tinggi dapat dilihat dari berbagai perilaku klien yang menunjukkan tanda – tanda isyarat untuk melakukan bunuh diri, rencana untuk berusaha mengakhiri hidupnya, serta melakukan percobaan bunuh diri. Pencegahan tersier merupakan pencegahan dengan cara mengurangi dampak dari tindakan bunuh diri. Peningkatan tentang cara menilai dan mendeteksi pasien dengan resiko bunuh diri serta mengurangi dampak dari tindakan bunuh diri secara tepat dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang professional dengan cara menambah wawasan mereka terhadap perilaku dengan resiko bunuh diri.
 Terdapat cara lain untuk mencegah tindakan bunuh diri yaitu dengan dirawat di rumah sakit atau hospitalization.(5) Anak dan remaja membutuhkan tindakan dari rumah sakit untuk melindungi pasien agar tidak melakukan bunuh diri karena depresi yang dapat menimbulkan keinginan untuk melakukan bunuh diri. Berikut ini beberapa alasan yang menyebabkan harus dirawat di rumah sakit menurut Suicide in Adolescents: A Worldwide Preventable Tragedy Greydanus DE, (2009) yaitu psikosis, kejang – kejang yang berulang kali dan berat, dalam fase mania, over dosis obat, pasien laki – laki karena beresiko 10 kali lebih besar, terdapat anggota keluarga yang melakukan bunuh diri, gagal menjalani terapi rawat jalan, adanya riwayat sebelumnya melakukan tindakan bunuh diri, penyalahgunaan obat, kurangnya perhatian dan perawatan di rumah, dan terdapat masalah medis lainnya. Fungsi dari rawat inap tidak hanya melindungi pasien namun juga menurunkan resiko, mobilisasi dukungan, keamanan pasien, serta menyediakan waktu aman untuk melakukan tindakan penanganan. Rawat inap sendiri tidak menentukan dapat mencegah secara total perilaku bunuh diri sampai masalah penyebab bunuh diri terselesaikan.(5)
            Bedasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa depresi dapat disebabkan oleh beberapa factor yaitu factor biologi, genetika, lingkungan, ekonomi, psikososial, kepribadian, kognitif. Depresi merupakan factor utama terjadinya resiko bunuh diri pada remaja.. Namun terdapat beberapa cara untuk mencegah terjadinya resiko bunuh diri terhadap remaja. Pencegahan tersebut yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier, serta Hospitalization

DAFTAR PUSTAKA
1.           Bowes L, Carnegie R, Pearson R, Mars B, Biddle L, Maughan B, et al. Risk of depression and self-harm in teenagers identifying with goth subculture: a longitudinal cohort study. The Lancet. Psychiatry [Internet]. Bowes et al. Open Acess article distributed under the terms of CC BY; 2015 Aug 20 [cited 2015 Sep 1];2(9):793–800. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26321233
2.           Mustaffa S, Aziz R, Mahmood MN, Shuib S. Depression and Suicidal Ideation among University Students. Procedia - Soc. Behav. Sci. [Internet]. Elsevier B.V.; 2014 Feb [cited 2015 Oct 7];116:4205–8. Available from: http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S1877042814009343
3.           Aditomo A, Retnowati S. Perfeksionisme,harga diri, dan kecenderungan depresi pada remaja akhir. J. Psikol. 2004;1(1):1–14.
4.           Supyanti W, Wahyuni A. SUICIDE ATTEMPTS PREVENTION IN CHIDREN & ADOLESCENT WITH DEPRESSIVE DISORDERS. 2009;1–10.
5.           Sudhita IWR. Perilaku Bunuh Diri di Kalangan Remaja. J. IKA. 2009;8(1):25–40.
6.           Hayuningtyas DO, Supriyono Y, Lestari S. UPAYA BUNUH DIRI SEBAGAI BENTUK DEPRESI PADA REMAJA. J. Psikol. 1–21.
7.           Zong S. A Study on Adolescent Suicide Ideation in South Korea. Procedia - Soc. Behav. Sci. [Internet]. Elsevier B.V.; 2015 Feb [cited 2015 Oct 7];174:1949–56. Available from: http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S187704281500912X